Euforia Guru PPPK Terkikisnya ‘Gate Keeper’ Kualitas Pendidikan di…
Oleh: Ratna Wulandari MSi dan Nining Tri Palupi MPd, Praktisi Pendidikan di Kota Semarang
KUALITAS Pendidikan mencerminkan bagaimana proses transfer pengetahuan berhasil dilakukan. Pendidikan dalam arti yang komprehensif adalah bagaimana ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap sampai dengan sangat baik kepada peserta didik sehingga menjadikan istilah kualitas pendidikan tersebut utuh dalam membentuk sebuah pribadi. Dengan demikian paradigma kualitas pendidikan tidak hanya berbicara prestasi akademik dan prestasi non akademik saja melainkan juga mencakup prestasi dalam hal keterampilan dan prestasi dalam hal menyikapi hidup dan kondisi terkini.
Berbicara kualitas pendidikan tidak akan pernah lepas dari sumber daya manusia di sebuah instansi pendidikan yang disebut guru. Peran guru akan membawa luaran bagaimana kualitas sebuah pendidikan akan dipersepsikan. Guru menjadi pilar utama dalam membangun dan menjadi “gate keeper” kualitas pendidikan di samping pilar-pilar yang lain yaitu kurikulum dan sarana prasarana. Ibarat sebuah resto guru adalah “koki” yang akan menyajikan menu layak dan nikmat untuk dihidangkan dan dinikmati oleh pembeli. Ibarat sebuah kafe, guru adalah “barista” yang siap menyajikan kopi yang sungguh nikmat untuk diminum. Kapankah “koki” atau “barista” tersebut dapat menyajikan menu yang nikmat, adalah setelah melewati sebuah proses, baik melalui berbagai pelatihan maupun pengalaman-pengalaman nyata dalam membuat menu dan kopi yang sudah dilalui.
Guru dalam sebuah instansi pendidikan pun demikian. Menjadi guru yang berkualitas dan professional tidak lahir dalam satu hari melainkan melalui sebuah proses, proses pengembangan yang dilakukan baik pendidikan dan pelatihan secara formal serta melalui pengalam nyata saat melakukan kegiatan pembelajaran.
Beberapa waktu lalu, pengelola sekolah swasta ternyata dikejutkan dengan penerimaan Guru melalui program perekrutan Pegawai Pemerintah dalam Perjanjian Kerja (PPPK). Memakai istilah “ternyata” karena sebetulnya program PPPK sudah beberapa waktu didengar bahkan mungkin sudah pula diketahui dan dipelajari. Namun di ujungnya, saat beberapa guru dicabut secara “terkondisi” dari sekolahnya, tetap saja membuat situasi sekolah menjadi gundah dan pasti goyah. Selain rekrutmen dilakukan di tengah proses pembelajaran sedang aktif dilakukan, tetapi juga yang terpenting karena guru yang terambil adalah guru-guru “baik” yang sudah melalui sebuah proses untuk menjadi guru profesional.
Bagaimana keberlanjutan sekolah yang terambil beberapa gurunya untuk melanjutkan proses pembelajaran? Apakah mudah sekolah swasta mencari pengganti guru yang terambil di tengah perjalanan proses pembelajaran? Dan yang terpenting bagaimana sekolah menjaga kualitas pembelajaran yang berkualitas nampaknya luput dari pemikiran para pengambil kebijakan. Fenomena “kehilangan” ini pasti mendominasi sekolah swasta yang terambil guru-gurunya.
Program yang digulirkan para pengambil kebijakan tentu punya tujuan. Hanya kajian dari hulu sampai ke hilir ternyata masih ada yang terlewatkan. Terutama untuk keberpihakan pada keberlanjutan dan tumbuh kembangnya sekolah swasta. Berbicara tentang sekolah swasta, pada saat pemerintah memberikan izin sebuah sekolah swasta beroperasi, tentu pemerintah akan memberikan dukungan penuh terhadap bertumbuh dan berkembangnya sekolah tersebut. Pada kenyataannya dekolah swasta banyak bertumbuh di Indonesia dan dalam perkembangannya pun banyak sekolah swasta yang berkembang menjadi sekolah berkualitas dan punya nama besar.
Dalam proses bertumbuhnya kualitas pendidikan di sebuah sekolah swasta tidak terlepas bagaimana upaya sekolah tersebut dalam memproses tenaga pendidiknya untuk menjadi tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional. Investasi besar diupayakan baik dari sisi biaya, waktu dan kesempatan Pendidikan serta pelatihan untuk membuat “penjaga” proses pendidikannya berkualitas. Tetapi “naif” nya setelah proses itu dilakukan, beberapa guru-guru baik itu diambil secara terkondisi, di tengah perjalanan pembelajaran pula. Kenapa menyebut guru-guru baik, karena yang terambil adalah guru yang sudah melewati sekian waktu pengabdian yang tentu saja sudah melewati proses pembentukan untuk menjadi seorang guru berkualitas bahkan guru profesional.
Dari sisi apapun dipersepsikan, kenyataannya saat ini sekolah swasta sedang menangis. Menangis karena “gate keeper” kualitas pendidikannya terambil. Terlebih menangis karena harus membangun kembali dari nol untuk guru baru yang akan direkrut. Apalagi jika nanti program ini akan berlanjut digulirkan oleh pengambil kebijakan.
Bahwa program ini punya tujuan baik itu pun juga diyakini, mari kita lihat dua sisi mata uang dari program ini. Sisi yang positif, program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi guru tentu saja menjadi program yang luar biasa dan penghargaan tertinggi bagi guru yang sudah berperan dalam mencerdaskan kehidupan generasi penerus bangsa. Bagi guru yang menerima program ini tentu akan menjadi “anugerah” yang sangat disyukuri. Di sisi lain mari dilihat dampak kurangnya. Selain mengambil guru-guru baik yang seperti tertulis di atas, program ini juga berdampak terjadinya proses “hukum rimba”, siapa yang kuat dialah yang akan dapat. Bagaimana tidak karena beberapa hari dalam minggu ini, banyak lowker dibuka di media dan media sosial, bahkan status Whats app dari pegelola Sekolah dan civitas akademi nya mencari banyak formasi guru. Proses pencarian ini tidak hanya menjadi kesempatan untuk para guru “fresh graduate” saja, melainkan juga guru-guru yang sudah berada di sekolah lain. Dan sangat diyakini, sekolah-sekolah swasta besar yang memiliki kemampuan untuk memberi kesejahteraan lebihlah yang akan memenangkan pertandingan ini.
Masalah yang dihadapi belum selesai sampai di sini. Bagaimana kalau kemudian proses pencarian guru pengganti belum didapatkan sampai batas waktu guru yang diterima tersebut harus meninggalkan sekolahnya. Pasti belum akan berbicara tentang kualitas pembelajarannya, tetapi akan kembali pada bagaimana keberlanjutan proses pembelajarannya, dan siapa yang akan dirugikan pasti “siswa” yang sudah dipercayakan di sekolah tersebut.
Untuk itu beberapa usulan konstruktif disampaikan sebagai bentuk gambaran kegundahan sekolah swasta atas program baik yang digulirkan ini. Semestinya evaluasi cepat dan terkini sudah dilakukan termasuk “riuhnya” dampak dari program ini. Sudah semestinya pula dipikirkan bahwa program ini harus dirumuskan kriteria yang berpihak pada semua pihak sebagai pelaku penyelenggara pendidikan sehingga “kualitas pendidikan” tidak hanya diupayakan dan terjaga untuk sekolah yang menjadi sasaran program ini (sekolah negeri), tetapi termasuk juga dipikirkan untuk bagaimana kualitas pendidikan juga diupayakan dan terjaga di sekolah swasta. Menyetujui dengan yang sudah beberapa diserukan di media sosial saat ini, akan menjadi sangat bijaksana seandainya dirumuskan kebijakan untuk guru swasta yang diterima dalam program ini, dikembalikan ke sekolahnya untuk melanjukan pengabdian dan mejadi “gate keeper” kualitas pendidikan yang profesional di sekolahnya saat ini. Jika ini dilakukan betapa bijaksana dan berpihaknya program ini terhadap bertumbuh dan berkembangnya pendidikan di Indonesia untuk mewujudkan generasi yang tangguh, berkualitas dan berkarakter.
Meskipun demikian, dengan bergulirnya program ini sekolah swasta pun harus segera menata diri dan menata sistem untuk menjadi tangguh dalam mengantisipasi jika program ini akan secara berkelanjutan dilakukan. Memang tidak bisa dibandingkan secara langsung antara sekolah negeri dan sekolah swasta, terutama dalam hal pemberian penghargaan, tetapi sekolah swasta harus “dipaksa” melakukan perbaikan terkait hal tersebut yang tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan sekolah. Termasuk juga dalam hal membangun sistem penataan pengembangan kompetensi, profesionalitas, dan jenjang karir guru.
Opini ini ditulis sebagai sebuah komitmen bahwa guru adalah aset dalam sebuah sekolah yang selalu hidup dan menghidupi tumbuh kembangnya sekolah tersebut. Bagaimana eksistensi dan kualitas terbangun di sebuah sekolah akan bertumpu pada peran besar seorang guru sebagai pelaksana keberlangsungan kegiatan belajar mengajar dari hulu sampai ke hilir. Sampai saat ini sangat diyakini bahwa merdeka belajar pasti tidak memerdekakan semuanya.
Sebagai penutup tulisan ini, mari semua yang sudah mendedikasikan karya dan hidupnya di dunia pendidikan untuk tetap memberi warna dan berjuang di setiap lini pengabdian kita dengan segenap hati untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas karena hakekatnya “ kualitas pendidikan adalah kita”. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Euforia Guru PPPK Terkikisnya ‘Gate Keeper’ Kualitas Pendidikan di Sekolah Swasta, https://jateng.tribunnews.com/2022/01/12/euforia-guru-pppk-terkikisnya-gate-keeper-kualitas-pendidikan-di-sekolah-swasta.